HERMEUNETIKA
AL-GOZALI
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas
Mata kuliah sudi al-qur’an
Dosen pengampu :
H.Fauzi Ahmad.Lc.LLM
Disusun oleh :
Heni Sulasmini
Siti Imroatun Diniyah
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS TARBIYAH
2015-2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Seiring dengan perkembangan zaman, metodologi tafsir dan pembahasan
mengenai teks al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang signifikan. Hal
tersebut terjadi karena adanya keinginan umat islam untuk mendialogkan antara
teks al-Qur’an dengan perkembangan berbagai permasalahan kemanusiaan yang
dihadapi manusia. Sebab, mereke beranggapan bahwa al-Qur’an merupakan Shalihul li kulli aman wa makan.
Dari situlah, para pemikir memunculkan metode-metode tafsir komteporer.
Dengan metode tafsir komteporer tersebut, diharapkan dapat menjadi tafsir
terhadap teks-teks al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu zaman
kotemporer. Akan tetapi, metode tafsir
yang digunakan juga harus baik, dialektis reformatif, komunikatif, dan mampu
menjawab perubahan dan perkembangan permasalahan umat islam.
Salah satu dari pemikir yang mampu menmunculkan metode tafsir komteporer
yaitu Muhammad al-Ghazali. Beliau mempunyai peran yang sangat besar dalam
penyebaran ajaran dan petunjuk al-Qur’an. Yaitu dengan cara berdakwah. Dalam
dakawahnya beliau selalu menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai hujjah.
Al-Ghazali telah menghasilkan berbagai macam kitab yang menjelaskan
tentang tafsir dan studi al-Qur’an. Diantaranya Nahwwa Tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karim, Kaifa Nata’ma ma’a
al-Qur’an, al-Muhawir al-Khamsah li al-Qur’an al-Karim, dan Nadzarat fi
al-Qur’an.
Kerna kegigihan Muhammad al-Ghazali dalam menafsirkan teks-teks
al-Qur’an dan perannya dalam menyebarkan ajaran al-Qur’an, maka penulis
mengambil tema “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad al-Ghazali.”
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tentangherneneutika al-Qur’an saya batasi dalam
makalah ini adalah :
1.
Apa
Pengertian Hermeneutika?
2.
Bagaimana
Biografi Muhammad al-Ghazali?
3.
Apa
pandangan Muhammad al-Ghazali tentang al-Qur’an?
4.
Bagaimana
metode penafsiran al-Qur’an menurur al-Ghazali?
5.
Bagaimana
tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad al-Ghazali?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini
adalah supaya orang orang mengetahui :
1.
Apa
definisi hermeneutika.
2.
Bagaimana
biografi Muhammad al-Ghazali.
3.
Apa
pandangan Muhammad al-Ghazali tentang al-Qur’an.
4.
Bagaimana
tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad al-Ghazali.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneutika, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan,
atau menerjemah-kan. [1]
Hermeneutika pada awalnya mencakup pengertian yang luas, yakni meliputi:
pembicaraan, penjelasan sesuatu yang belum jelas menggunakan ekspresi bahasa,
penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa lain dan penafsiran atas makna yang
samar dengan bahasa yang lebih jelas.
Secara
terminologi, hermenutika dimaksudkan sebagai penafsiran ungkapan dan pernytaan
orang lain, utamanya dengan limit yang jauh dari entang sejarah.[2]
Namun, dewasa ini, makna hermeneutika disempitkan menjadi penafsiran teks yang
berasal dari sosial hirtoris yang berbeda antara penulis dengan pembaca.
Paul Ricouer
dalam De Intretation, mendefinisikan
hermeneutika mengacu pada focus exseges tekstual sebagai elemen distingtif dan
sentral dalam hermeneutika. Yaitu teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah exseges atau bisa dikatakan sebagai interpretasi teks particular atau
kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai teks.
The new
Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika
adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the study of
the general principle of biblicak interpretatiton).
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an
cenderung memandang teks seabagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap
hal-hal yang sifatnya trensenden (ilahiyah).[3]
Dalam bingkai hermeneutika al-Qur’an tidak dipandang sebagai wahyu Tuhan lafadl
dan makna sebagaimana yang dipahami mayoritas umat islam.. akan tetapi, ia
merupakan produk budaya atau wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab,
yakni budaya dimana al-Qur’an di turunkan. Misalnya, Nashr Hamid Abu Zaid
memandang bahwa al-Qur’an adalah produk budaya Arab.
Hermeneutika
selalu dikaitkan dengan penafsiran kitab suci. Sebab, dalam memahami sebuah
kitab suci pasti menemkan permasalahan yang belum pernah dipahami sebelumnya.
Dan bahasa pun akan berpengaruh terhadap pemahaman sebuah teks. Selain itu,
kondisi lingkungan dan sejarah. Para penganut Schleiermacher dan Dhiltey
memandang hermenutika sebagai general
body dari prinsip-prisip metodologis yang mendasari penafsiran.
Selain itu, tradisi penafsiran Heidegger dan para
pengikutnya yang melihat hermenutika sebagai suatu eksplorasi filosofis dai
karakter dan syarat-syarat yang diperlukan bagi suatu pemahaman.[4]
Jadi, hermeneutika merupakan ilmu untuk menafsirkan sebuah teks, baik itu teks
suci atau pun teks biasa. Agar pembaca dapat memahami maksud dan makna yang
terkandung dalam teks.
B. Biografi Muhammad al-Ghazali
Muhammad
al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi al-Ghazali,
lahir pada 22 September 1917 di kampung Naklal Inab, Itay al-Barud, Buhairah,
Mesir. Dan wafat di Riyadh Arab Saudi pada 9 Maret 1996. Imam Ghazali terkenal
sebagai pemikir, teolog, filsuf, dan sufi islam yang termashur.[5]
Beliau dilahirkan dari keuarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya
hafidz al-Qur’an dan seorang pemintol wol di Kota Thus. Latar belakang
pendidikan Imam Ghazali dimulai dengan belajar al-Qur’an dari ayahnya.
Sehingga, pada usia 10 tahun, beliau sudah hafal al-Qur’an. Setelah ayahnya
meninggal, imam Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada teman ayahnya, Ahmad bin
Muhammad ar Razikani. Pada imam Razikani, beliau belajar fikih, riwayat hidup
para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, juga belajar menghafal
syair-syair tentang Mahabbah kepada Tuhan, al-Qur’an, dan sunah.
Muhammad al-Ghazali merupakan dai yang brilian, memiliki semangat yang menggelora,
perasaan lembut, tekad yang membaja, lincah, ungkapan-ungkapan mensastra,
mengesankan, supel, dan pemurah.[6]
Beliau tidak suka memaksakan kehendak, benci kesombongan dan sikap sok tau.
Akan tetapi, beliau aktif mengikuti perkembangan sosial dengan segala
persoalan, menyelesaikan problematika ummat tentang bencana yang ditimbulkan
syaitan-syaitan manusia dan jin, baik dari Barat maupun Timur.
Gurunya yang
lain yang juga seorang sufi adalah Yusuf an-Nassj. Setelah tamat, beliau
melanjutkan ke Kota Jurjan, yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan.
Disana, beliau mendalami pengetahuan agama. Selain itu, beliau juga belajar
bahasa Arab dan Persia. Beberapa tahun kemudian, beliau ke Nisabur dan masuk
Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh Imam al-Hurairah al Juwaini. Karena
dianggap berbakat, beliau diangkat menjadi asisten Imam al-Juwaini. Bahkan,
menjadi wakil pimpinan di Madrasah Nizamiyah. Dan disinilah bakat menulis Imam
Ghazali berkembang.
Setelah
menyelesaikan studiy, Imam Ghazali menjadi Imam dan Khatib di Masjid al-‘Atabah
al-Khadla. Setelah itu, beliau mendapat banyak jabatan secara berurutan mulai
dari Dewan Pengawas Masjid, Dewan Penasehat al-Azhar, Wakil Dewan Urusan
Masjid, Direktur Urusan Masjid, hingga Direktur Dakwah wal Isyad.
Dengan
berbagai jabatan yang diraih Imam Ghazali, beliau mengalami pergolakan batin.
Yaitu pergolakan antara kemegahan dunia dan amal akhirat. Dengan kemegahan dan
jabatan-jabatan yang diperoleh Imam Ghazali, mengakibatkan beliau berperang
melawan batin yang sangat cinta terhadap tujuan kehidupan akhirat. Akibatnya,
beliau jatuh sakit. Berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkan penyakit beliau.
Akan tetapi, tidak seorang dokter pun yang mampu menyembuhkan. Bahkan, dokter
menyarankan agar Imam Ghazali berusaha sendiri untuk memperoleh kesembuhan.
Penyakit tersebut bukan pengaruh dari luar, tetapi dari dalam batin Imam
Ghazali sendiri.
Akhirnya,
Imam Ghazali berusaha sendiri dan memperoleh kesembuhan dengan memperbanyak
mohon perlindungan dan pertolongan kepada Allah Swt. Hatinya pun menjadi
tentram. Dengan hati yang tabah dan penuh keberanian, beliau pergi dari Bagdad
untuk menyepi, karena untuk ibadah secara intens dan membersihkan jiwa. Selain
itu, beliau juga mewakafkan hartanya kepada masyarakat Bagdad.
Imam Ghazali
pergi ke Damaskus. Di sini, beliau membersihkan jiwa dengan selalu mengarahkan
pikiran kepada Allah swt. Kemudian, beliau melanjutkan uzlah dan Khalwatnya ke
Baitul Maqdis di Yarussalam. Selanjutnya ke Mesir, dan terakhir ke Mekkah yaitu
untuk menunaikan haji dan menetap di sana. Terkadang Imam Ghazali pulang ke
Bagdad untuk menjenguk keluarganya. Beliau melaksanakan kehidupan seperti itu selama 10 Tahun.
Setelah lama dalam pengembaraan, akhirnya beliau kembali ke Bagdad.
Sepanjang
hidupnya, Imam Ghazali menulis sekitar 100 buku. Buku-buku tersebut ditulis
dalam bahasa Arab dan Persia yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti
ilmu kalam (teologi islam), fikih (hukum islam), tasawuf, filsafat, akhlak, dan
autobiografi. Diantara buku-buku yang terkenal yaitu Maqasid al-Falasifa (Tujuan
Para Filsuf), Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), Ilyaa-u
Uluumid Diin (Menghidupkan Ilmu Agama), dan al-Mudqizmin ad Dalal
(penyelamat dari Kesesatan).
C. Pandangan Muhammad al-Ghazali tentang
al-Qur’an
Menurut Imam
Ghazali, al-Qur’an adalah ringkasan dari wahyu yang telah diturunkan oleh Allah
Swt pada abad-abad pertamana, sebuah kitab yang tercatat dalam sebuah mushaf
yang setiap hurufnya terjaga dari perubahan dan tidak dapat disentuh oleh
kebatilan. Baik dari depan maupun dari belakang.[7]
Muhammad Imam Ghazali menegaskan bahwa al-Qur’an tidak mungkin diasingkan dari
kehidupan. Sebab, al-Qur’an adalah kitab kehidupan yang sanggup merespon
pergerakan zaman dengan segala dinamika. Al-Qur’an diharapkan dapat menegakkan
keadilan, membasmi kebodohan, dan menggempur kedzaliman.
Ada lima
fokus yang sering dan penting dalam pembahasan yang terdapat pada al-Qur’an.[8]
Diantaranya :
1.
Allah
al-Wahid, Allah Maha Esa. Al-Qur’an menolak konsep adanya banyak tuhan. Sebab,
tuhan-tuhan yang disembah selain Allah hanyalah nama hasil rekayasa manusia.
Dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Ikhlas: 1 bahwa tidak ada satu tuhan pun
yang menyamai Allah. Jadi, al-Qur’an sangat menolak adanya kemusyrikan,
trinitas, kekafiran, dan komunis.
2.
alam
semesta, al-Kaun yang menunjukkan keberadaan yang pencipta. Keindahan dan
keteraturan semesta, pergantian siang dan malam, hujan turun dari langit yang
memberikan kehidupan di bumi, merupakan tanda-tanda adanya sang pencipta. Dan
kita, sebagai manusia, dituntut untuk mengetahui dan memahami alam semesta
seperti yang tertera dalam surat al-Jatsiah: 3 & 6.
3.
kisah-kisah
dalam al-Qur’an. Misalnya, kisah Nabi Musa dengan tongkatnya yang terdapat pada
surat al-A’raf: 107, kisah Nabi Ibrahim yang mencari Tuhannnya terdapat dalam
surat al-Q’raf: 75-79. dan masih banyak lagi. Menurut Imam Ghazali, kisah-kisah
yang ada di dalam al-Qur’an merupakan sebuah media pendidikan.
4.
kebangkitan
dari kubur dan adanya pembalasan. Sebenarnya, manusia diciptakan untuk abadi di
Surga. Kehidupan manusia di dunia hanya sementara. Ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa surga penuh dengan nikmat dan neraka penuh dengan adzab. Akan
tetapi, banyak orang yang tidak percaya terhadap adanya surga dan neraka.
Sehingga, banyak diantara mereka yang melakukan maksiat. Oleh karena itu,
al-Qur’an selalu menyebutkan dan mengulang tema kebangkitan dalam kubur dan
adanya hisab agar manusia tidak melakukan perbuatan maksiat.
5.
aspek
pendidikan dan tasyri’. Imam Ghazali mengatakan bahwa pendidikan yang
diinginkan al-Qur’an adalah pendidikan yang Rabbaniah, peradaban yang rabbainah
dan kebudayaan yang rabbainah. Sedangkan yang dimaksud manusia rabbani yaitu
manusia yang mengetahui hakekat dirinya dan ia bergerak dalam kebenaran dan
kebaikan. Oleh karena itu, al-Qur’an banyak menyebutkan apa saja yang dicintai
dan dibenci Allah. Inilah yang dimaksud mengandung nilai pendidikan menurut
Imam Ghazali.
Al-Qur’an bukan buku yang terpisah-pisah antara
bagian satu dengan bagian yang lain. Akan tetapi, al-Qur’an adalah mushaf yang
didalamnya bagian satu dengan bagian yang lain saling berkaitan dan
keterpaduan. Misalnya, pada saat membahas akidah, ketika itu pula akan
berbicara tentang alam semesta. Dan pada saat berbarengan pula pendidikan
tentang tata perilaku dan akhlak mulia akan muncul.
Bagi Imam Ghazali, al-Qur’an mempunyai keajaiban
yang tidak pernah habis dan tidak akan pernah sampai pada akhir pembahasan.
D. Metode penafsiran al-Qur’an Muhammad
al-Ghazali
Metode
tafsir Imam Ghazali dilandasi oleh pemikiran bahwa al-Qur’an adalah tenunan
yang saling mengikat, yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Kitab Tafsir
Nahwa tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an
al-Karim yang ditulis oleh Muhammad al-Ghazali dengan menggunakan metode Maudhu’i dari setiap surat yang ada
dalam al-Qur’an. Metode Maudhu’i berarti
pembahasan tentang surat secara global mulai dari awal hingga akhir,
menjelaskan secara implisit, membuat awal surat sebagai pendahuluan untuk akhir
surat dan akhir surat sebagai pembenaran terhadap awal.
Penafsiran
yang dilakukan Muhammad al-Ghazali secara genealogis, mengikuti pola penafsiran
yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Abdullah ibn Darraz.[9]
Dalam pandangan teori ilmu tafsir, langkah metode tafsir Muhammad al-Ghazali
merupakan salah satu bentuk dan jenis-jenis maudhu’i yang digagas oleh Dr.
Mustafa Muslim.[10] Namun,
al-Ghazali menambahkan kaitan antara awal surat dengan akhir surat secara utuh
dalam al-Qur’an, dan pengetahuan bahwa seluruh kandungan al-qur’an saling
menyokong dan saling mengisi. Sementara itu, dalam pendekatan tafsirnya,
al-Ghazali menggunakan pendekatan ra’yu.
Menurut al
Farmawy, yang dimaksud ra’yu dalam konteks ini yaitu ijtihad.[11]Beliau
mengatakan bahwa penafsirang al-Qur’an dengan ijtihad setelah musafir mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang perkataan Arab beserta sisi-sisinya, makna,
syair zaman jahiliyah, asbab al-nuzul, naskh dan lain sebagainya.
Adapun
penafsiran al-Qur’an oleh Muhammad al-Ghazali memperlihatkan keinginan untuk
menjelaskan makna al-Qur’an secara mendalam. Kemudian, dikorelasikan dengan
kondisi masyarakat. Dengan demikian, makna al-Qur’an dapat dipahami secara
komunikatif oleh pembaca, karena berhubungan dengan pengalaman kehidupan
masyarakat.
E. Tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad
al-Ghazal
Hubungan pembaca dengan teks dan penggagas mempunyai tiga hubungan
hermeneutika. Diantaranya :
1.
Hermeneutika Teoritis, yaitu
hermeneutika yang menitik beratkan kajian pada problem pemahaman. Dan yang
menjadi tujuan pencarian hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh
penggagas teks dan disebut juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan
untuk merekonstruksi makna.
2.
Hermeneutika Filosofis. Yang
dimaksud Hermeneutika Filosofis yaitu hermeneutika yang memandang bahwa problem
utama merupakan bagaimana tindakan memahami. Sedangkan menurut Gadamer, yaitu
watak interpretasi, bukan teori interpretasi.[12]
3.
Heremeneutika Kritis, yaitu
hermeneutika yang bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan
tokohnya Habermas. Habermas menempatkan sesuatu yang berada di luar teks
sebagai problem hermeneutika. Yaitu dimensi ideologi penafsir dan teks.
Sehingga, dia mengandaikan teks bukan sebagai media pemahaman. Akan tetapi,
sebagai media dominasi dan kekuasaan.
Dari ketiga teori di atas,
Muhammad al-Ghazali dikategorikan pada hermeneutika teoritis dan filosofis.[13]
Pada hermeneutika teoritis, yang menjadi titik tumpu yaitu pada problem
pemahaman; bagaimana memahami dengan benar. Al-Ghazali, sebagai penafsir,
bertujuan untuk bisa melihat al-Qur’an dengan komprehensif dan seimbang. Apa
yang dilakukan al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan hermeneutika teoritis
Schleiermacher.
Schleiermacher membedakan
hermeneutika sebagai ilmu dan seni memahi. Sedangkan yang dimaksud hermeneutika
menurut Scheiermacher yaitu studi tentang pemahaman. Pemahaman tidak hanya
kepada permasalahan dalam memahami teks suci, tetapi pada semua teks manusia
dan gaya komunikasi. Hermeneutika Schiermacher berpijak pada prisip dasar teks,
bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mentransformasikan ide
pengarang kepada pembaca. Dalam aspek linguistik, Schliermarcher menunjuk
bahasa dan kelengkapannya, dan dalam aspek psikis, menunjuk pada ide subyektif
pengarangnya. Hubungan antara kedua aspek ini disebut dengan hubungan
dialektis, menurut Schliermacher.
Setiap kali teks muncul dalam
waktu, maka ia menjadi samar-samar dan dapat menjadikan kesalahpahaman. Oleh
karena itu, muncullah ilmu untuk menjaga kesalahpahaman dan membawa lebih dekat
kepada pemahaman.
Hermenutika filosofis tampak
pada pemikiran Muhammad al-Ghazali tentang keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu
Allah. Dengan pengakuan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu, maka sikap melakukan
pemahaman terhadap al-Qur’an menjadi sangat penting. Di sinilah hermeneutika
filosofis menemukan posisinya pada tafsir Muhammad al-Ghazali.
Muhammad al-Ghazali menegaskan
bahwa al-Qur’an tidak mungkin diasingkan dari kehidupan. al-Qur’an juga
menyajika risalah (ajaran) kehidupan
yang lengkap; tidak ada satu sisi yang tidak dijangkaunya, ajaran-ajaran wahyu
Ilahi mengalir dalam bingkai Qur’ani seperti mengalirnya darah dalam urat-urat
nadi manusia, dari kepala hingga kaki.
Tindakan memahami al-Qur’an
harus didahului oleh persepsi tentang keberadaan al-Qur’an yang bebas dari
ideologi mana pun dan bahkan ideologi harus disingkirkan ketika pembaca
berhadapan pertama kali dengan teks al-Qur’an. Dilihat dari pandangan
hermeneutika, penafsiran al-Qur’an yang dilakukan Muhammad al-Ghazali merupakan
karya yang menarik ketika materi tafsirnya dikaitkan dengan permasalahan
kotemporer. Sebab, teks-teks al-Qur’an dapat menjawab berbagai permasalahan
sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk era kotemporer
Mengapa demikian? Karena sejak
turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas. Banyak peristiwa yang
mengiringi turunnya ayat dan merupakan jawaban atas pertanyaan umat islam.
Al-Qur’an hadir mengikuti peristiwa-peristiwa baru yang muncul di tengan
masyarakat. Dan respon yang diberikan sangat beragam, ada yang hanya satu
potong ayat, atau beberapa ayat, ada pula yang satu surat al-Qur’an.
Semua
umat beragama yang mendasarkan diri pada kitab suci sangat rentan terhadap
kecenderungan untuk menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu tinggi, hingga
mengalahkan kenyataan hidup manusia yang terus berubah. “Rezim teks” akan
selalu menjadi bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat pengagung kitab
suci.
Wujud
modern dari kecenderungan itu adalah fundamentalisme dengan pemahaman agama
yang bersifat literalis-skripturalistik dan bibliolatrik. Karena, supremasi
teks yang berlebihan, Dimensi manusia hilang dari modus keberagaman, dengan
akibat pengasingan manusia dari pengalaman spiritual sendiri.
Dalam
konteks seperti itu, diperlukan pandangan yang lebih seimbang tentang teks
wahyu yang hidup dalam konteks yang nyata. Dimana masyarakat terlibat aktif
dalam pemaknaan teks itu. Dan diperlukan metodologi yang menempatkan pengalaman
manusia dan wahyu sebagai dau hal yang saling mengandaikan, tidak bisa
dipisahkan, dan diperlakukan sebagai sesuatu yang memiliki status epistimologi
yang sama dalam tindakan penafsiran.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneutika, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan,
atau menerjemahkan.
Muhammad al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at
Tusi al-Ghazali, lahir pada 22 September 1917 di kampung Naklal Inab, Itay
al-Barud, Buhairah, Mesir. Dan wafat di Riyadh Arab Saudi pada 9 Maret 1996.
Imam Ghazali terkenal sebagai pemikir, teolog, filsuf, dan sufi islam yang
termashur.
Menurut Imam Ghazali, al-Qur’an adalah ringkasan dari wahyu yang telah
diturunkan oleh Allah Swt pada abad-abad pertamana, sebuah kitab yang tercatat
dalam sebuah mushaf yang setiap hurufnya terjaga dari perubahan dan tidak dapat
disentuh oleh kebatilan. Baik dari depan maupun dari belakang.
Hubungan pembaca dengan teks dan penggagas mempunyai tiga hubungan
hermeneutika. Hermeneutika teoritis, filosofis, dan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Edi Mulyono
dkk, Belejar hermeneutika
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 15.
[2] Mokh. Sya’roni, Metode
Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan
Hermeneutika al-Qur’an Perspektif
Muhammad al-Ghazali (Semarang: Iain Walisongo, 2012), hal. 34.
[3] Adian Husain
dkk, Hermeneutika dan Tafisr al-Qur’an, (Semarang: Dema Insani, 2007) hal. 47.
[4]
Edi Mulyono,
Op,. Cit, hal. 24.
[5] Hermawan, Karung Mutiara al-Ghazali, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 1997), hal 1951.
[6]
Mokh. Sya’roni,
Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an
Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an
Perspektif Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 52.
[7] Mokh. Sya’roni, Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan
Hermeneutika al-Qur’an Perspektif
Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 68.
[8] Mokh. Sya’roni, ibid,. Hal. 63.
[9]
Mokh. Sya’roni,
Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an
Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an
Perspektif Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 72.
[10] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu
Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 78.
[11]
Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS,
2005), hal. 47.
[12]
Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS,
2005), hal. 47.
[13]
Mokh. Sya’roni, ibid,. Hal. 93.
[14]
Abd Moqsith
Ghazali dkk, Metode Studi al-Qur’an, (Jakarta: PT Gramedia Pustakan
Utama, 2009), hal. 139.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar