Jumat, 27 November 2015

HERMEUNETIKA AL-GOZALI



HERMEUNETIKA AL-GOZALI

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas
Mata kuliah sudi al-qur’an
Dosen pengampu :
H.Fauzi Ahmad.Lc.LLM



Disusun oleh :
Heni Sulasmini
Siti Imroatun Diniyah




INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS TARBIYAH
2015-2016
BAB I
 PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Seiring dengan perkembangan zaman, metodologi tafsir dan pembahasan mengenai teks al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang signifikan. Hal tersebut terjadi karena adanya keinginan umat islam untuk mendialogkan antara teks al-Qur’an dengan perkembangan berbagai permasalahan kemanusiaan yang dihadapi manusia. Sebab, mereke beranggapan bahwa al-Qur’an merupakan Shalihul li kulli aman wa makan.
Dari situlah, para pemikir memunculkan metode-metode tafsir komteporer. Dengan metode tafsir komteporer tersebut, diharapkan dapat menjadi tafsir terhadap teks-teks al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu zaman kotemporer.  Akan tetapi, metode tafsir yang digunakan juga harus baik, dialektis reformatif, komunikatif, dan mampu menjawab perubahan dan perkembangan permasalahan umat islam.
Salah satu dari pemikir yang mampu menmunculkan metode tafsir komteporer yaitu Muhammad al-Ghazali. Beliau mempunyai peran yang sangat besar dalam penyebaran ajaran dan petunjuk al-Qur’an. Yaitu dengan cara berdakwah. Dalam dakawahnya beliau selalu menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai hujjah.
Al-Ghazali telah menghasilkan berbagai macam kitab yang menjelaskan tentang tafsir dan studi al-Qur’an. Diantaranya Nahwwa Tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karim, Kaifa Nata’ma ma’a al-Qur’an, al-Muhawir al-Khamsah li al-Qur’an al-Karim, dan Nadzarat fi al-Qur’an.
Kerna kegigihan Muhammad al-Ghazali dalam menafsirkan teks-teks al-Qur’an dan perannya dalam menyebarkan ajaran al-Qur’an, maka penulis mengambil tema “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad al-Ghazali.”
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tentangherneneutika al-Qur’an saya batasi dalam makalah ini adalah :
1.      Apa Pengertian Hermeneutika?
2.      Bagaimana Biografi Muhammad al-Ghazali?
3.      Apa pandangan Muhammad al-Ghazali tentang al-Qur’an?
4.      Bagaimana metode penafsiran al-Qur’an menurur al-Ghazali?
5.      Bagaimana tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad al-Ghazali?
C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah supaya orang orang mengetahui :
1.      Apa definisi hermeneutika.
2.      Bagaimana biografi Muhammad al-Ghazali.
3.      Apa pandangan Muhammad al-Ghazali tentang al-Qur’an.
4.      Bagaimana tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad al-Ghazali.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneutika, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan, atau menerjemah-kan. [1] Hermeneutika pada awalnya mencakup pengertian yang luas, yakni meliputi: pembicaraan, penjelasan sesuatu yang belum jelas menggunakan ekspresi bahasa, penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa lain dan penafsiran atas makna yang samar dengan bahasa yang lebih jelas.
Secara terminologi, hermenutika dimaksudkan sebagai penafsiran ungkapan dan pernytaan orang lain, utamanya dengan limit yang jauh dari entang sejarah.[2] Namun, dewasa ini, makna hermeneutika disempitkan menjadi penafsiran teks yang berasal dari sosial hirtoris yang berbeda antara penulis dengan pembaca.
Paul Ricouer dalam De Intretation, mendefinisikan hermeneutika mengacu pada focus exseges tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Yaitu teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah exseges atau bisa dikatakan sebagai interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dianggap sebagai teks.
The new Encyclopedia Britannica menulis bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the study of the general principle of biblicak interpretatiton).
Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an cenderung memandang teks seabagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya trensenden (ilahiyah).[3] Dalam bingkai hermeneutika al-Qur’an tidak dipandang sebagai wahyu Tuhan lafadl dan makna sebagaimana yang dipahami mayoritas umat islam.. akan tetapi, ia merupakan produk budaya atau wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya dimana al-Qur’an di turunkan. Misalnya, Nashr Hamid Abu Zaid memandang bahwa al-Qur’an adalah produk budaya Arab.
Hermeneutika selalu dikaitkan dengan penafsiran kitab suci. Sebab, dalam memahami sebuah kitab suci pasti menemkan permasalahan yang belum pernah dipahami sebelumnya. Dan bahasa pun akan berpengaruh terhadap pemahaman sebuah teks. Selain itu, kondisi lingkungan dan sejarah. Para penganut Schleiermacher dan Dhiltey memandang hermenutika sebagai general body dari prinsip-prisip metodologis yang mendasari penafsiran.
Selain itu, tradisi penafsiran Heidegger dan para pengikutnya yang melihat hermenutika sebagai suatu eksplorasi filosofis dai karakter dan syarat-syarat yang diperlukan bagi suatu pemahaman.[4] Jadi, hermeneutika merupakan ilmu untuk menafsirkan sebuah teks, baik itu teks suci atau pun teks biasa. Agar pembaca dapat memahami maksud dan makna yang terkandung dalam teks.
B.     Biografi Muhammad al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi al-Ghazali, lahir pada 22 September 1917 di kampung Naklal Inab, Itay al-Barud, Buhairah, Mesir. Dan wafat di Riyadh Arab Saudi pada 9 Maret 1996. Imam Ghazali terkenal sebagai pemikir, teolog, filsuf, dan sufi islam yang termashur.[5] Beliau dilahirkan dari keuarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya hafidz al-Qur’an dan seorang pemintol wol di Kota Thus. Latar belakang pendidikan Imam Ghazali dimulai dengan belajar al-Qur’an dari ayahnya. Sehingga, pada usia 10 tahun, beliau sudah hafal al-Qur’an. Setelah ayahnya meninggal, imam Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad ar Razikani. Pada imam Razikani, beliau belajar fikih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, juga belajar menghafal syair-syair tentang Mahabbah kepada Tuhan, al-Qur’an, dan sunah.
Muhammad al-Ghazali merupakan dai yang brilian, memiliki semangat yang menggelora, perasaan lembut, tekad yang membaja, lincah, ungkapan-ungkapan mensastra, mengesankan, supel, dan pemurah.[6] Beliau tidak suka memaksakan kehendak, benci kesombongan dan sikap sok tau. Akan tetapi, beliau aktif mengikuti perkembangan sosial dengan segala persoalan, menyelesaikan problematika ummat tentang bencana yang ditimbulkan syaitan-syaitan manusia dan jin, baik dari Barat maupun Timur.
Gurunya yang lain yang juga seorang sufi adalah Yusuf an-Nassj. Setelah tamat, beliau melanjutkan ke Kota Jurjan, yang saat itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Disana, beliau mendalami pengetahuan agama. Selain itu, beliau juga belajar bahasa Arab dan Persia. Beberapa tahun kemudian, beliau ke Nisabur dan masuk Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh Imam al-Hurairah al Juwaini. Karena dianggap berbakat, beliau diangkat menjadi asisten Imam al-Juwaini. Bahkan, menjadi wakil pimpinan di Madrasah Nizamiyah. Dan disinilah bakat menulis Imam Ghazali berkembang.
Setelah menyelesaikan studiy, Imam Ghazali menjadi Imam dan Khatib di Masjid al-‘Atabah al-Khadla. Setelah itu, beliau mendapat banyak jabatan secara berurutan mulai dari Dewan Pengawas Masjid, Dewan Penasehat al-Azhar, Wakil Dewan Urusan Masjid, Direktur Urusan Masjid, hingga Direktur Dakwah wal Isyad.
Dengan berbagai jabatan yang diraih Imam Ghazali, beliau mengalami pergolakan batin. Yaitu pergolakan antara kemegahan dunia dan amal akhirat. Dengan kemegahan dan jabatan-jabatan yang diperoleh Imam Ghazali, mengakibatkan beliau berperang melawan batin yang sangat cinta terhadap tujuan kehidupan akhirat. Akibatnya, beliau jatuh sakit. Berbagai cara dilakukan untuk menyembuhkan penyakit beliau. Akan tetapi, tidak seorang dokter pun yang mampu menyembuhkan. Bahkan, dokter menyarankan agar Imam Ghazali berusaha sendiri untuk memperoleh kesembuhan. Penyakit tersebut bukan pengaruh dari luar, tetapi dari dalam batin Imam Ghazali sendiri.
Akhirnya, Imam Ghazali berusaha sendiri dan memperoleh kesembuhan dengan memperbanyak mohon perlindungan dan pertolongan kepada Allah Swt. Hatinya pun menjadi tentram. Dengan hati yang tabah dan penuh keberanian, beliau pergi dari Bagdad untuk menyepi, karena untuk ibadah secara intens dan membersihkan jiwa. Selain itu, beliau juga mewakafkan hartanya kepada masyarakat Bagdad.
Imam Ghazali pergi ke Damaskus. Di sini, beliau membersihkan jiwa dengan selalu mengarahkan pikiran kepada Allah swt. Kemudian, beliau melanjutkan uzlah dan Khalwatnya ke Baitul Maqdis di Yarussalam. Selanjutnya ke Mesir, dan terakhir ke Mekkah yaitu untuk menunaikan haji dan menetap di sana. Terkadang Imam Ghazali pulang ke Bagdad untuk menjenguk keluarganya. Beliau melaksanakan  kehidupan seperti itu selama 10 Tahun. Setelah lama dalam pengembaraan, akhirnya beliau kembali ke Bagdad.
Sepanjang hidupnya, Imam Ghazali menulis sekitar 100 buku. Buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan Persia yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi islam), fikih (hukum islam), tasawuf, filsafat, akhlak, dan autobiografi. Diantara buku-buku yang terkenal yaitu Maqasid al-Falasifa (Tujuan Para Filsuf), Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), Ilyaa-u Uluumid Diin (Menghidupkan Ilmu Agama), dan al-Mudqizmin ad Dalal (penyelamat dari Kesesatan).
C.     Pandangan Muhammad al-Ghazali tentang al-Qur’an
Menurut Imam Ghazali, al-Qur’an adalah ringkasan dari wahyu yang telah diturunkan oleh Allah Swt pada abad-abad pertamana, sebuah kitab yang tercatat dalam sebuah mushaf yang setiap hurufnya terjaga dari perubahan dan tidak dapat disentuh oleh kebatilan. Baik dari depan maupun dari belakang.[7] Muhammad Imam Ghazali menegaskan bahwa al-Qur’an tidak mungkin diasingkan dari kehidupan. Sebab, al-Qur’an adalah kitab kehidupan yang sanggup merespon pergerakan zaman dengan segala dinamika. Al-Qur’an diharapkan dapat menegakkan keadilan, membasmi kebodohan, dan menggempur kedzaliman.
Ada lima fokus yang sering dan penting dalam pembahasan yang terdapat pada al-Qur’an.[8] Diantaranya :
1.      Allah al-Wahid, Allah Maha Esa. Al-Qur’an menolak konsep adanya banyak tuhan. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah hanyalah nama hasil rekayasa manusia. Dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Ikhlas: 1 bahwa tidak ada satu tuhan pun yang menyamai Allah. Jadi, al-Qur’an sangat menolak adanya kemusyrikan, trinitas, kekafiran, dan komunis.
2.      alam semesta, al-Kaun yang menunjukkan keberadaan yang pencipta. Keindahan dan keteraturan semesta, pergantian siang dan malam, hujan turun dari langit yang memberikan kehidupan di bumi, merupakan tanda-tanda adanya sang pencipta. Dan kita, sebagai manusia, dituntut untuk mengetahui dan memahami alam semesta seperti yang tertera dalam surat al-Jatsiah: 3 & 6.
3.      kisah-kisah dalam al-Qur’an. Misalnya, kisah Nabi Musa dengan tongkatnya yang terdapat pada surat al-A’raf: 107, kisah Nabi Ibrahim yang mencari Tuhannnya terdapat dalam surat al-Q’raf: 75-79. dan masih banyak lagi. Menurut Imam Ghazali, kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur’an merupakan sebuah media pendidikan.
4.      kebangkitan dari kubur dan adanya pembalasan. Sebenarnya, manusia diciptakan untuk abadi di Surga. Kehidupan manusia di dunia hanya sementara. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa surga penuh dengan nikmat dan neraka penuh dengan adzab. Akan tetapi, banyak orang yang tidak percaya terhadap adanya surga dan neraka. Sehingga, banyak diantara mereka yang melakukan maksiat. Oleh karena itu, al-Qur’an selalu menyebutkan dan mengulang tema kebangkitan dalam kubur dan adanya hisab agar manusia tidak melakukan perbuatan maksiat.
5.      aspek pendidikan dan tasyri’. Imam Ghazali mengatakan bahwa pendidikan yang diinginkan al-Qur’an adalah pendidikan yang Rabbaniah, peradaban yang rabbainah dan kebudayaan yang rabbainah. Sedangkan yang dimaksud manusia rabbani yaitu manusia yang mengetahui hakekat dirinya dan ia bergerak dalam kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu, al-Qur’an banyak menyebutkan apa saja yang dicintai dan dibenci Allah. Inilah yang dimaksud mengandung nilai pendidikan menurut Imam Ghazali.
Al-Qur’an bukan buku yang terpisah-pisah antara bagian satu dengan bagian yang lain. Akan tetapi, al-Qur’an adalah mushaf yang didalamnya bagian satu dengan bagian yang lain saling berkaitan dan keterpaduan. Misalnya, pada saat membahas akidah, ketika itu pula akan berbicara tentang alam semesta. Dan pada saat berbarengan pula pendidikan tentang tata perilaku dan akhlak mulia akan muncul.
Bagi Imam Ghazali, al-Qur’an mempunyai keajaiban yang tidak pernah habis dan tidak akan pernah sampai pada akhir pembahasan.
D.    Metode penafsiran al-Qur’an Muhammad al-Ghazali
Metode tafsir Imam Ghazali dilandasi oleh pemikiran bahwa al-Qur’an adalah tenunan yang saling mengikat, yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Kitab Tafsir Nahwa tafsir Maudhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karim yang ditulis oleh Muhammad al-Ghazali dengan menggunakan metode Maudhu’i dari setiap surat yang ada dalam al-Qur’an. Metode Maudhu’i berarti pembahasan tentang surat secara global mulai dari awal hingga akhir, menjelaskan secara implisit, membuat awal surat sebagai pendahuluan untuk akhir surat dan akhir surat sebagai pembenaran terhadap awal.
Penafsiran yang dilakukan Muhammad al-Ghazali secara genealogis, mengikuti pola penafsiran yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Abdullah ibn Darraz.[9] Dalam pandangan teori ilmu tafsir, langkah metode tafsir Muhammad al-Ghazali merupakan salah satu bentuk dan jenis-jenis maudhu’i yang digagas oleh Dr. Mustafa Muslim.[10] Namun, al-Ghazali menambahkan kaitan antara awal surat dengan akhir surat secara utuh dalam al-Qur’an, dan pengetahuan bahwa seluruh kandungan al-qur’an saling menyokong dan saling mengisi. Sementara itu, dalam pendekatan tafsirnya, al-Ghazali menggunakan pendekatan ra’yu.
Menurut al Farmawy, yang dimaksud ra’yu dalam konteks ini yaitu ijtihad.[11]Beliau mengatakan bahwa penafsirang al-Qur’an dengan ijtihad setelah musafir mempunyai pengetahuan yang cukup tentang perkataan Arab beserta sisi-sisinya, makna, syair zaman jahiliyah, asbab al-nuzul, naskh dan lain sebagainya.
Adapun penafsiran al-Qur’an oleh Muhammad al-Ghazali memperlihatkan keinginan untuk menjelaskan makna al-Qur’an secara mendalam. Kemudian, dikorelasikan dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, makna al-Qur’an dapat dipahami secara komunikatif oleh pembaca, karena berhubungan dengan pengalaman kehidupan masyarakat.
E.     Tinjauan hermeneutika terhadap tafsir Muhammad al-Ghazal
Hubungan pembaca dengan teks dan penggagas mempunyai tiga hubungan hermeneutika. Diantaranya :
1.      Hermeneutika Teoritis, yaitu hermeneutika yang menitik beratkan kajian pada problem pemahaman. Dan yang menjadi tujuan pencarian hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh penggagas teks dan disebut juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk merekonstruksi makna.
2.      Hermeneutika Filosofis. Yang dimaksud Hermeneutika Filosofis yaitu hermeneutika yang memandang bahwa problem utama merupakan bagaimana tindakan memahami. Sedangkan menurut Gadamer, yaitu watak interpretasi, bukan teori interpretasi.[12]
3.      Heremeneutika Kritis, yaitu hermeneutika yang bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Habermas menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutika. Yaitu dimensi ideologi penafsir dan teks. Sehingga, dia mengandaikan teks bukan sebagai media pemahaman. Akan tetapi, sebagai media dominasi dan kekuasaan.
Dari ketiga teori di atas, Muhammad al-Ghazali dikategorikan pada hermeneutika teoritis dan filosofis.[13] Pada hermeneutika teoritis, yang menjadi titik tumpu yaitu pada problem pemahaman; bagaimana memahami dengan benar. Al-Ghazali, sebagai penafsir, bertujuan untuk bisa melihat al-Qur’an dengan komprehensif dan seimbang. Apa yang dilakukan al-Ghazali tidak jauh berbeda dengan hermeneutika teoritis Schleiermacher.
Schleiermacher membedakan hermeneutika sebagai ilmu dan seni memahi. Sedangkan yang dimaksud hermeneutika menurut Scheiermacher yaitu studi tentang pemahaman. Pemahaman tidak hanya kepada permasalahan dalam memahami teks suci, tetapi pada semua teks manusia dan gaya komunikasi. Hermeneutika Schiermacher berpijak pada prisip dasar teks, bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mentransformasikan ide pengarang kepada pembaca. Dalam aspek linguistik, Schliermarcher menunjuk bahasa dan kelengkapannya, dan dalam aspek psikis, menunjuk pada ide subyektif pengarangnya. Hubungan antara kedua aspek ini disebut dengan hubungan dialektis, menurut Schliermacher.
Setiap kali teks muncul dalam waktu, maka ia menjadi samar-samar dan dapat menjadikan kesalahpahaman. Oleh karena itu, muncullah ilmu untuk menjaga kesalahpahaman dan membawa lebih dekat kepada pemahaman.
Hermenutika filosofis tampak pada pemikiran Muhammad al-Ghazali tentang keberadaan al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Dengan pengakuan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu, maka sikap melakukan pemahaman terhadap al-Qur’an menjadi sangat penting. Di sinilah hermeneutika filosofis menemukan posisinya pada tafsir Muhammad al-Ghazali.
Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa al-Qur’an tidak mungkin diasingkan dari kehidupan. al-Qur’an juga menyajika risalah (ajaran) kehidupan yang lengkap; tidak ada satu sisi yang tidak dijangkaunya, ajaran-ajaran wahyu Ilahi mengalir dalam bingkai Qur’ani seperti mengalirnya darah dalam urat-urat nadi manusia, dari kepala hingga kaki.
Tindakan memahami al-Qur’an harus didahului oleh persepsi tentang keberadaan al-Qur’an yang bebas dari ideologi mana pun dan bahkan ideologi harus disingkirkan ketika pembaca berhadapan pertama kali dengan teks al-Qur’an. Dilihat dari pandangan hermeneutika, penafsiran al-Qur’an yang dilakukan Muhammad al-Ghazali merupakan karya yang menarik ketika materi tafsirnya dikaitkan dengan permasalahan kotemporer. Sebab, teks-teks al-Qur’an dapat menjawab berbagai permasalahan sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk era kotemporer
Mengapa demikian? Karena sejak turunnya, al-Qur’an telah berdialog dengan realitas. Banyak peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan merupakan jawaban atas pertanyaan umat islam. Al-Qur’an hadir mengikuti peristiwa-peristiwa baru yang muncul di tengan masyarakat. Dan respon yang diberikan sangat beragam, ada yang hanya satu potong ayat, atau beberapa ayat, ada pula yang satu surat al-Qur’an.
Semua umat beragama yang mendasarkan diri pada kitab suci sangat rentan terhadap kecenderungan untuk menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu tinggi, hingga mengalahkan kenyataan hidup manusia yang terus berubah. “Rezim teks” akan selalu menjadi bayang-bayang yang terus menghantui masyarakat pengagung kitab suci.
Wujud modern dari kecenderungan itu adalah fundamentalisme dengan pemahaman agama yang bersifat literalis-skripturalistik dan bibliolatrik. Karena, supremasi teks yang berlebihan, Dimensi manusia hilang dari modus keberagaman, dengan akibat pengasingan manusia dari pengalaman spiritual sendiri.
Dalam konteks seperti itu, diperlukan pandangan yang lebih seimbang tentang teks wahyu yang hidup dalam konteks yang nyata. Dimana masyarakat terlibat aktif dalam pemaknaan teks itu. Dan diperlukan metodologi yang menempatkan pengalaman manusia dan wahyu sebagai dau hal yang saling mengandaikan, tidak bisa dipisahkan, dan diperlakukan sebagai sesuatu yang memiliki status epistimologi yang sama dalam tindakan penafsiran.[14]














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneutika, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan, atau menerjemahkan.
Muhammad al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at Tusi al-Ghazali, lahir pada 22 September 1917 di kampung Naklal Inab, Itay al-Barud, Buhairah, Mesir. Dan wafat di Riyadh Arab Saudi pada 9 Maret 1996. Imam Ghazali terkenal sebagai pemikir, teolog, filsuf, dan sufi islam yang termashur.
Menurut Imam Ghazali, al-Qur’an adalah ringkasan dari wahyu yang telah diturunkan oleh Allah Swt pada abad-abad pertamana, sebuah kitab yang tercatat dalam sebuah mushaf yang setiap hurufnya terjaga dari perubahan dan tidak dapat disentuh oleh kebatilan. Baik dari depan maupun dari belakang.
Hubungan pembaca dengan teks dan penggagas mempunyai tiga hubungan hermeneutika. Hermeneutika teoritis, filosofis, dan kritis.












DAFTAR PUSTAKA



[1] Edi Mulyono dkk, Belejar hermeneutika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 15.
[2] Mokh. Sya’roni, Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an Perspektif Muhammad al-Ghazali (Semarang: Iain Walisongo, 2012), hal. 34.
[3] Adian Husain dkk, Hermeneutika dan Tafisr al-Qur’an, (Semarang: Dema Insani, 2007) hal. 47.
[4] Edi Mulyono, Op,. Cit, hal. 24.
[5] Hermawan, Karung Mutiara al-Ghazali, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1997), hal 1951.
[6] Mokh. Sya’roni, Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an Perspektif Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 52.
[7]  Mokh. Sya’roni, Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an Perspektif Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 68.
[8]  Mokh. Sya’roni, ibid,. Hal. 63.
[9] Mokh. Sya’roni, Metode Kotemporer Tafsir al-Qur’an Tinjauan Hermeneutika al-Qur’an Perspektif Muhammad al-Ghazali, (Semarang: IAIN Walisongo, 2012), hal. 72.
[10] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 78.
[11] Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS, 2005), hal. 47.
[12] Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogayakarta: TERAS, 2005), hal. 47.
[13] Mokh. Sya’roni, ibid,. Hal. 93.
[14] Abd Moqsith Ghazali dkk, Metode Studi al-Qur’an, (Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, 2009), hal. 139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar